Senin, 07 Februari 2011

Belajar dari Novel Totto Chan

Kemarin saat aku sedang berangkat kerja sekitar pukul 08.00 WIb, kudapati seorang anak SMP sedang bergerombol di taman dekat tempat kerjaku, iseng-iseng kutanya "kok jam segini sudah pulang?" lantas salah satu dari mereka menjawabab "bolos", "lho kok bolos" tanya ku lagi, "gurunya gak asyik".
Sedikit sakit hati ini mendengar kata-kata dari anak-anak sekolah itu, padahal sebentar lagi UN akan segera di gelar. Belum lagi orang tua yang banting tulang siang dan malam mencarikan biaya buat mereka, mereka malah tidak sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, sebenarnya jika ada pernyataan seperti itu, kesalahan terletak dimana, apa karena muridnya yang malas atau karena sebab lain.
Jika anda adalah seorang pendidik saya sarankan anda membaca buku terjemahan yang berjudul Totto chan yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, tetapi jika anda tidak sempat membacanya akan saya berikan sedikit sinopsisnya.
Cerita ini bersetting di Jepang yang merupakan kisah nyata dari si penulis yang terjadi pada massa perang dunia II.
Bermula dari seorang gadis cilik yang masih duduk di bangku kelas 1 SD yang bernama Totto Chan, suatu hari Totto Chan berdiri di jendala sekolah sambil melihat burung-burung yang yang berada di luar jendela, sesekali dia seperti berbincang-bincang sendiri dengan burung-burung tersebut, hingga akhirnya guru yang mengajarnya merasa kesal karena menganggap Totto Chan anak yang nakal, hingga pada akhirnya Totto Chan di keluarkan dari sekolah. Kemudian ibunya menyekolahkan dia pada suatu sekolah yang sekolah ini unik, karena mereka yang sekolah di situ belajar di gerbong kereta api, selain itu setiap anak boleh memilih pelajaran apa saja yang disukai untuk dipelajari pada hari itu, jadi tidak dikenal jadwal pelajaran di sekolah Totto chan yang baru, jika hari ini ingin belajar menggambar, ya silahkan.
Hingga pada suatu hari dompet kesayangan Totto-chan jatuh di lubang pembuangan kakus di sekolah. Gadis cilik yang baru saja dikeluarkan dari sekolah lamanya karena dianggap badung itu, menciduk kotoran yang ada di lubang penampungan kakus sembari berharap menemukan dompetnya. Namun sampai bel pelajaran sekolah berbunyi dan tumpukan kotoran telah meninggi, dompet belum juga ketemu. Pada saat itu muncullah Kepala Sekolah. Hebatnya dia sama sekali tidak memarahi Totto-chan. Bahkan menganggapnya sedang melakukan pekerjaan penting.

Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.
“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan
“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tidak ingin membuang waktu.
“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti kebiasaannya ketika berjalan-jalan.
Waktu berlalu, Totto-chan belum juga menemukan dompetnya. Gundukan berbau busuk itu semakin tinggi.
Kepala Sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?” tanyanya.
“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.
Kepala sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai kan?”. Kemudian pria itu pergi lagi seperti sebelumnya.
“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja (hal. 57 – 58).

Alih-alih memarahi Totto-chan, Kepala Sekolah memilih menanyakan kesediaan Totto-chan mengembalikan kotoran ke dalam kakus. Tidak melarang Totto-chan melanjutkan “proyeknya”, namun mengajarkan tanggung jawab kepada murid kecilnya. Tidak ada kemarahan, tidak juga hardikan, yang ada adalah pengertian mendalam terhadap alasan tindakan seorang anak. Buat siswa kelas satu SD, menciduk kotoran dari lubang penampungan kakus bukanlah hal yang aneh, apalagi bila hal itu dilakukan untuk mencari dompet yang jatuh ke kakus.

Kepala Sekolah berusaha menjaga agar bibit-bibit keberanian mengambil tindakan yang mulai tumbuh di dalam jiwa muridnya tidak mati. Biar kelak saat umurnya bertambah, si anak akan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Sebuah tindakan yang dilandasi empati luar biasa terhadap perkembangan kepribadian seorang anak.

Tomoe Gakuen adalah sebuah sekolah unik yang didirikan di Jepang pada tahun 1937. Sekolah itu menerapkan cara belajar yang menarik. Di awal jam pelajaran Guru membuat daftar soal dan pertanyaan tentang pelajaran hari itu. Murid-murid boleh memilih urutan mata pelajaran sesuai keinginannya. Bila mengalami kesulitan, mereka boleh berkonsultasi dengan guru kapan saja. Dalam satu ruangan kelas setiap murid memiliki aktifitas yang berbeda-beda sesuai keinginannya. Bagi yang suka menggambar akan mulai dengan menggambar, murid yang suka fisika akan memulai harinya dengan menggeluti alat-alat laboratorium. Alhasil sekolah menjadi tempat yang menyenangkan. Disamping menyenangkan, metode mengajar tersebut membuat murid-murid merasa dihargai, dan diberi kebebasan memilih sehingga keberanian mengambil keputusan akan berkembang,

Pemupukan kepercayaan diri juga dilakukan terhadap anak-anak yang memiliki hambatan fisik yang kebetulan bersekolah di Tomoe. Perlombaan pada saat perayaan Hari Olahraga di Tomoe sepertinya dirancang sedemikian rupa sehingga mereka dapat ikut serta. Bahkan dapat menjadi pemenang! Takahashi, seorang murid yang tubuh, tangan dan kakinya berukuran pendek, mampu meraih juara umum. Kaki dan tangan Takahashi yang pendek membantunya memenangkan bermacam-macam lomba, seperti perlombaan menaiki tangga yang anak tangganya tersusun rapat, dan perlombaan merayap ke dalam ikan karper yang terbuat dari kain. Perlombaan yang berhasil membuat seorang anak yang memiliki hambatan fisik merasa dirinya mampu berprestasi seperti anak-anak lainnya.

Bahkan saking ingin menjaga mental anak didiknya, Kepala Sekolah pernah memarahi seorang guru yang pada saat menerangkan pelajaran biologi menanyakan pada seorang anak, apakah anak itu masih punya ekor. Pertanyaan yang wajar ditanyakan seorang guru saat pelajaran. Pertanyaan yang biasa saja bila ditujukan kepada anak normal. Namun pertanyaan tersebut kebetulan ditujukan pada seorang anak yang mengalami kelainan pada pertumbuhan tubuhnya. Kepala Sekolah tak ingin perkembangan jiwa si anak terganggu, karena merasa dirinya dianggap makhluk aneh.

Kelebihan lain Tomoe Gakoen adalah pelajaran praktek yang langsung dibimbing seorang ahli di bidangnya. Seperti yang dialami Totto-chan pada saat Kepala Sekolah memperkenalkan seorang guru baru kepada murid-murid.
Saat memandangi guru itu, Totto-chan merasa pernah melihatnya. “Dimana, ya?” ia berusaha mengingat-ingat. Wajah pria itu ramah, terbakar matahari, dan penuh kerutan. Ia merasa telah sering melihat pipa ramping yang tergantung pada tali hitam yang berfungsi sebagai ikat pinggang itu. Tiba-tiba Totto-chan ingat!
“Bukankah Anda petani yang mengolah ladang dekat anak sungai itu?”tanyanya riang pada si pria.
“Benar,” kata “Guru Baru” itu sambil tersenyum lebar (hal. 177 -178).

Kepala Sekolah menghargai kompetensi Si Petani untuk mengajarkan pada murid-murid tentang cara bertani yang baik. Perhatikan reaksi Kepala sekolah ketika Si Petani tersebut menolak disebut “Guru” oleh anak-anak Tomoe. Reaksi yang menunjukkan penghormatan terhadap kompetensi seseorang :

“Oh, itu tidak benar. Dia guru. Dia Guru Pertanian Kalian,” kata Kepala Sekolah yang berdiri di samping petani itu. “Dengan senang hati Dia setuju untuk mengajari Kalian bagai mana cara bercocok tanam. Ini seperti mendapatkan pembuat roti untuk mengajari Kalian caranya membuat roti. Nah, dengar,” katanya kepada Petani itu, “Katakan kepada Anak-anak apa yang harus Mereka lakukan, lalu Kita akan mulai sekarang juga.” (hal 178).

Susunan buku yang mirip sekumpulan cerita pendek, ditulis secara kronologis, namun dapat dibaca terpisah, sangat memudahkan pembaca yang hanya memiliki sedikit waktu luang. Alur cerita yang menarik yang dibumbui tingkah laku lucu seorang anak, teknik penterjemahan yang bagus dan pembagian buku menjadi bagian-bagian cerita yang panjangnya kebanyakan kurang dari 4 halaman, membuat buku ini enak dibaca dan mudah dimengerti, termasuk bagi anak-anak.

Benar-benar sekolah yang mempunyai sistem kurikulum yang menarik, tidak akan pernah kita dapati di Indonesia, meskipun itu di sekolah alam. Untuk membuat murid pintar memang tidak harus melalui cara yang otoriter, tetapi justru dengan cara yang menyenangkan ilmu akan lebih mudah masuk ke dalam otak anak didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar